MAKALAH
Tentang Ilmu hadits
Diajukan untuk memenuhi salah satu
tugas ushul fiqih
Disusun Oleh :
Luki
Lukmanul Hakim
Nim:1210403058
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2010
KATA PENGANTAR
Segala
puji hanya bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang Maha Memiliki Ilmu
dan Yang Berkenan Memberi Ilmu kepada siapa saja yang ia kehendaki. Semoga
keselamatan selalu tercurah kepada utussan-Nya, Rasulullah SAW, kepada
keluarganya, sahabat-sahabat, tabiin dan umatnya yang selalu taat pada
ajarannya. Amiin.
Karena
berkat karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini yang diperuntukan untuk
memenuhi tugas ulumul hadits. Terima kasih pada dosen saya ibu anggit yang
telah membimbing saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan
sebaik-baiknya.
Saya
merasa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, baik dari segi
format, isi, tampilan, maupun sistematikanya. Oleh karena itu, saya sangat
mengharapkan kritik maupun saran dari ibu supaya hal-hal kekurangan yang ada
dapat diperbaiki di kemudian hari.
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya sebagai penulis umumnya bagi
pembaca. Amiin.
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ...........................................................................................i
DAFTAR
ISI..........................................................................................................ii
ILMU
HADITS......................................................................................................1
PENGERTIAN
HADITS
......................................................................................2
KEDUDUKAN
HADITS DALAM HUKUM ISLAM........................................3
SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN ILMU HADITS......................................4
PEMBAGIAN
ILMU
HADITS.............................................................................5
ILMU
MUSHTHALAH HADITS..........................................................................6
PEMBAGIAN
DERAJAT/JENIS
HADITS...........................................................7
BERHUJAH
DENGAN HADITS/MENGAMALKAN HADITS........................8
REFERENCE........................................................................................................
I. Pengertian Hadits
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
sifat-sifat, keadaan dan himmah nya
Taqrir adalah perbuatan atau keadaan
sahabat yang diketahui Rosulullah dan beliau mendiamkannya atau mengisyaratkan
sesuatu yang menunjukkan perkenannya atau beliau tidak menunjukkan
pengingkarannya.
Himmah adalah hasrat beliau yang belum
terealisir, contohnya hadits riwayat Ibnu Abbas :
“Dikala Rosulullah saw berpuasa pada
hari ‘Asura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada
Nabi, mereka berkata : ‘Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah yang diagungkan
oleh Yahudi dan Nasrani’, Rasulullah menyahuti : ‘Tahun yang akan datang, Insya
Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan’.” (HR Muslim dan Abu Dawud)
tetapi
Rasulullah tidak sempat merealisasikannya, disebabkan beliau telah wafat.
Menurut Imam Syafi’i bahwa
menjalankan himmah itu termasuk sunnah, tetapi Imam Syaukani mengatakan tidak
termasuk sunnah karena belum dilaksanakan oleh Rasulullah.
Khabar adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat, jadi setiap
hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.
Atsar adalah
segala sesuatu yang lebih umum dari hadits dan khabar, yaitu termasuk perkataan
tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para ulama salaf.
Biasanya
perkataan yang disandarkan atau berasal dari selain Nabi disebut atsar.
Sunnah adalah
Jalan hidup atau kebiasaan yang ditempuh dalam berbuat dan ber’itiqad
(berkeyakinan). Dikatakan sunnah Nabi jika itu disyariatkan, ditempuh dan
diridloi oleh Nabi.
Hadits Qudsi
adalah hadits yang mengandung kalimat langsung perkataan Allah, cirinya dimulai
dengan “Allah berkata…”
Perbedaan
Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an :
a. Semua lafad
ayat-ayat Al-Qur’an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang Hadits Qudsi tidak.
b. Perlakuan
terhadap Al-Qur’an -dilarang menyentuhnya bagi yang berhadas kecil, dilarang
membacanya bagi yang ber hadas besar- tidak berlaku bagi Hadits Qudsi.
c. Membaca
Al-Qur’an setiap hurufnya mendatangkan pahala, sedang membaca Hadits Qudsi
tidak.
d. Al-Qur’an semua susunan kata-katanya
redaksinya berasal dari Allah, sedangkan Hadits Qudsi redaksi kata-katanya
terserah Rasulullah.
II. Kedudukan
Hadits Dalam Hukum Islam
Sumber Hukum Islam yang pertama adalah Al-Qur’an dan yang kedua adalah
Hadits.
Sebab-sebab Al-Qur’an lebih tinggi derajadnya dari hadits :
1.
Al-Qur’an kita terima dari Nabi dengan jalan Qoth’i (pasti) karena didengar
dan dihafal oleh sejumlah sahabat dan ditulis oleh para penulis wahyu.
Sedangkan hadits tidak semuanya dihafal atau dituliskan dan tranmisinya berupa
dzan (dugaan kuat).
2. Para sahabat mengumpulkan Al-Qur’an
dalam satu mushaf dan mentranmisikan materinya kepada umat dalam keadaan aslinya
(redaksinya) sehuruf pun tidak berubah, tidak bertambah dan tidak berkurang dan
mushaf itupun terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa. Sedangkan materi
hadits dapat diriwayatkan dengan maknanya saja.
3. Semua ayat Al-Qur’an Mutawatir. Sedangkan hadits kebanyakan tidak
mutawatir.
4.
Al-Qur’an merupakan pokok yang memuat prinsip dasar dan hadits adalah
penjelas dari yang pokok atau hadits adalah cabang dari yang pokok. Bila hadits
yang cabang mendatangkan yang bertentangan dengan Al-Qur’an yang pokok maka
ditolak.
5. Ijma Sahabat, yaitu Khalifah Abu
Bakar, Umar bila akan memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada keputusan
hukumnya pada masa Rasulullah maka mereka merujuk ke Al-Qur’an, bila tidak
ditemukan di Al-Qur’an maka Khalifah mengumpulkan sahabat-sahabat besar untuk
ditanyakan apakah ada yang pernah mendengar Hadits Rosulullah, mengenai masalah
tersebut, bila ada yang menyebutkan haditsnya maka Khalifah memutuskan hukum
berdasarkan hadits tersebut. Metode tersebut juga dilakukan
oleh Usman dan Ali dan tidak ada yang menyelisihi mengenai hal ini.
6. Dalam hadits sendiri menunjukkan
bahwa Al-Qur’an lebih tinggi kedudukannya, yaitu hadits Muadz Bin Jabal ra yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, yang menjelaskan urut urutan sumber
hukum islam yaitu : Al-Qur’an, Hadits dan “ajtahidu ro’yii” – ijtihad
dengan akal
Sumber hukum
Islam yang ketiga adalah Ijma (konsensus) ulil-amri (pemegang urusan yaitu
umaro dan ulama) kemudian yang keempat adalah dalil akal.
Dalil akal ini ada sekitar 40 tools yang dibahas secara terperinci dalam
ilmu ushul fikih, yang terkenal adalah :
1.
Qiyas (analogi)
2.
Ihtisan (keluar dari qiyas umum karena ada sebab yang lebih kuat)
3.
Maslahah Mursalah (keluar dari qiyas umum dengan pertimbangan kemaslahatan)
4.
Saddudz Dzari’ah (menutup jalan yang menuju kemudhorotan)
5.
Ar Raju’u ilal manfa’ati wal madharrati (mempertimbangkan kemanfaatan dan
kemudhorotan)
6.
Istishab (hukum yang diyakini menetap sebelumnya tidak dapat dirubah oleh
yang masih meragukan)
7.
Urf (kebiasaan yang berlaku pada suatu kaum dapat menjadi hukum).
dan lain
lain sampai sekitar 40 macam.
Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an :
1. Memperkuat hukum yang ada di
Al-Qur’an.
2. Menerangkan (bayan) hukum yang
disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
3. Merinci hukum yang disebutkan dalam
dalam Al-Qur’an.
4. Mentakhsish (meng khususkan) dari
ketentuan yang umum dari Al-Qur’an.
5. Menghapus (nasakh) hukum yang ada di
Al-Qur’an.
6. Melengkapi hukum yang belum ada di
Al-Qur’an.
Untuk memahami dengan baik tentang hal ini diperlukan penguasaan ilmu-ilmu
Al-Qur’an (ulumul Qur’an) dan menguasai nahwu-sharaf bahasa Arab serta
menguasai kaidah-kaidah yang mengatur kapan suatu hadits dapat mentakhsish atau
me nasakh Al-Qur’an. Kemampuan ini harus dimiliki oleh seorang mujtahid.
III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Hadits
A. Periode Pertama (Jaman Rosul)
-
Para sahabat bergaul dan berinteraksi langsung dengan Nabi, sehingga setiap
permasalahan atau hukum dapat ditanyakan langsung kepada Nabi.
-
Para sahabat lebih concern dengan menghapal dan mempelajari Al-Qur’an
-
Secara umum Rasulullah saw melarang menuliskan hadits karena takut
tercampur baur dengan ayat Al-Qur’an karena wahyu sedang / masih diturunkan.
-
Secara umum sahabat masih banyak yang buta huruf sehingga tidak menuliskan
hadits, mereka meriwayatkan hadits mengandalkan hafalan secara lisan.
- Sebagian kecil
sahabat –yang pandai baca tulis- menuliskan hadits seperti : Abdullah Bin Amr
Bin Ash yang mempunyai catatan hadits dan dikenal sebagai “Shahifah Ash
Shadiqah” juga Jabir Bin Abdullah Al Anshary mempunyai catatan hadits yang
dikenal sebagai “Shahifah Jabir”
-
Pada event tertentu orang arab badui ingin fatwa Nabi dituliskan, maka Nabi
meluluskan permintaannya untuk menuliskan hadits untuknya.
-
Para sahabat masih disibukkan dengan peperangan penaklukan kabilah-kabilah
di seluruh jazirah Arab.
-
Para sahabat yang belum paham tentang suatu hukum bisa saling bertanya
kepada yang lebih tahu dan saling mempercayai penuturannya.
B. Periode Kedua (Masa Khulafaur Rasyidin)
-
Sebagian sahabat tersebar keluar jazirah Arab karena ikut serta dalam jihad
penaklukan ke daerah Syam, Iraq, Mesir, Persia.
- Pada daerah
taklukan yang baru masuk Islam, Khalifah Umar menekankan agar mengajarkan
Al-Qur’an terlebih dahulu kepada mereka.
-
Khalifah Abu Bakar meminta kesaksian minimal satu orang bila ada yang
meriwayatkan hadits kepadanya.
-
Khalifah Ali meminta bersumpah orang yang meriwayatkan hadits
-
Khalifah Umar melarang sahabat besar keluar dari kota Madinah dan melarang
memperbanyak periwayatan hadits.
-
Setelah Khalifah Umar wafat, sahabat besar keluar kota Madinah tersebar ke
Ibukota daerah taklukkan untuk mengajarkan agama.
C. Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
-
Para sahabat besar telah terpencar kelur dari Madinah.
-
Jabir pergi ke Syam menanyakan hadits kepada sahabat Abdullah Bin Unais Al
Anshary.
-
Abu Ayyub Al Anshary pergi ke Mesir menemui sahabat Utbah Bin Amir untuk
menanyakan hadits.
-
Masa ini sahabat besar tidak lagi membatasi diri dalam periwayatan hadits,
yang banyak meriwayatkan hadits antara lain :
a.
Abu Hurairah (5347 hadits)
b.
Abdullah Bin Umar (2360 hadits)
c.
Anas Bin Malik (2236 hadits)
d.
Aisyah, Ummul Mukminin (2210 hadits)
e.
Abdullah Bin Abbas (1660 hadits)
f.
Jabir Bin Abdullah (1540 hadits)
g.
Abu Sa’id Al Kudri (1170 hadits)
h.
Ibnu Mas’ud
i.
Abdullah Bin Amr Bin Ash
-
Pada waktu pemerintahan Khalifah Ali, terjadi pemberontakan oleh Muawiyah Bin
Abu Sofyan, setelah peristiwa tahkim (arbitrase) muncul kelompok (sekte)
kawarij yang memusuhi Ali dan Muawiyah. Setelah terbunuhnya Khalifah Ali,
muncul sekte Syiah yang mendukung Ali dan keturunannya sementara kelompok
jumhur (mayoritas) tetap mengakui pemerintahan Bani Umayah. Sejak saat itu
mulai bermunculan hadits palsu yang bertujuan mendukung masing-masing
kelompoknya. Kelompok yang terbanyak membuat hadits palsu adalah Syiah Rafidah.
D. Periode Ke-empat (Masa Pembukuan Hadits)
- Pada waktu
Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99
H berkuasa, beliau dikenal sebagai orang yang adil dan wara’ bahkan sebagian
ulama menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5, tergeraklah hatinya
untuk membukukan hadits dengan motif :
a.
Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
b.
Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu yang sudah mulai banyak
beredar.
c.
Al-Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi
kekhawatiran tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
d.
Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan
antar sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang
karena wafat dalam peperangan-peperangan tersebut.
- Khalifah Umar
menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin ‘Amr Bin
Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi’in
wanita ‘Amrah Binti ‘Abdur Rahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, murid
Aisyah-Ummul Mukminin.
Khalifah
Umar Bin Abdul Azis menulis instruksi kepada Ibnu Hazm :
“Lihat dan periksalah apa yang dapat
diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap
ikmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain hadits
Rasulullah saw dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis
ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak
lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”
- Berdasarkan
instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan menginstruksikan
kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin Syihab az Zuhry (Ibnu
Syihab Az Zuhry)-seorang ulama besar dan mufti Hijaz dan Syam- untuk turut
membukukan hadits Rasulullah saw.
-
Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad
ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
a.
Al-Muwaththa’, karya Imam Malik Bin Anas (95 H – 179 H).
b.
Al Masghazy wal Siyar, hadits sirah nabawiyah karya Muhammad Ibn Ishaq (150
H).
c.
Al Mushannaf, karya Sufyan Ibn ‘Uyainah (198 H)
d.
Al Musnad, karya imam Abu Hanifah (150 H)
e.
Al Musnad, karya imam Syafi’i (204 H)
E.
Periode ke-lima (Masa Kodifikasi Hadits)
1.
Periode Penyaringan hadits dari Fatwa-fatwa sahabat (abad ke-III H)
-
Menyaring hadits nabi dari fatwa-fatwa sahabat nabi
-
Masih tercampur baur hadits sahih, dhaif dan maudlu’ (palsu).
-
Pertengahan abad tiga baru disusun kaidah-kaidah penelitihan ke sahihan
hadits.
-
Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawaih (guru
Imam Bukhary).
-
Penyempurnaan kodifikasi ilmu hadits dan kaidah-kaidah pen sahihan suatu
hadits.
- Penyusunan
kitab Sahih Bukhory
- Penyusunan
enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang diakui
oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya,
sebagian masih mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya
dan dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke enam kuttubus shittah itu
adalah :
a.
Sahih Bukhory
b.
Sahih Muslim
c.
Sunan Abu Dawud
d.
Sunan An Nasay
e.
Sunan At-Turmudzy
f.
Sunan Ibnu Majah
2.
Periode menghafal dan meng isnadkan hadits (abad ke-IV H)
-
Para ulama hadits berlomba-lomba menghafalkan hadits yang sudah tersusun
pada kitab-kitab hadits.
-
Para ulama hadits mengadakan penelitian hadits-hadits yang tercantum pada
kitab-kitab hadits.
-
Ulama hadits menyusun kitab-kitab hadits yang bukan termasuk kuttubus
shittah.
3.
Periode Klasifikasi dan Sistimasi Susunan Kitab-Kitab Hadits (abad ke-V H
s.d 656 H, jatuhnya Baghdad)
-
Mengklasifikasikan hadits dan menghimpun hadits-hadits yang sejenis.
-
Menguraikan dengan luas (men syarah) kitab-kitab hadits.
-
Memberikan komentar (takhrij) kitab-kitab hadits.
-
Meringkas (ikhtisar) kitab-kitab hadits.
-
Menciptakan kamus hadits.
-
Mengumpulkan (jami’) hadits-hadits bukhory-Muslim
-
Mengumpulkan hadits targhib dan tarhib.
- Menyusun
kitab athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadits kemudian
mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa
kitab.
- Menyusun
kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhory Muslim
umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad
Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri.
- Menyusun
kitab istidrak, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat
Bukhary dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan
atau di sahihkan oleh keduanya.
F.
Periode ke-enam (dari tahun 656 H – sekarang)
-
Mulai dari jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan dari Mongol tahun 656 H –
sekarang ini.
-
Menertibkan, menyaring dan menyusun kitab kitab takhrij.
-
Membuat kitab-kitab jami’
-
Menyusun kitab-kitab athraf
- Menyusun
kitab-kitab zawaid, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam
kitab-kitab yang sebelumnbya kedalam sebuah kitab yang tertentu.
IV. Pembagian Ilmu Hadits
Ilmu hadits dibagi menjadi dua :
Hadits Riwayah dan Hadits Dirayah (mushthalahul hadits)
a. Hadits Riwayah adalah suatu ilmu
untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan penulisan apa apa yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir
dan lain sebagainya.
Yaitu
bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau
menuliskan dalam kitab hadits. Dalam menyampaikan dan menuliskan hadits, hanya
dinukil dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Ilmu ini
tidak berkompeten membicarakan apakah matannya ada yang janggal atau ber
‘illat, apakah sanadnya terputus atau bersambungan. Lebih jauh tidak dibahas
hal ihawa dan sifat sifat perawinya.
Faedah
mengetahui ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip
terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
b. Hadits Dirayah adalah kaidah-kaidah
untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan
hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.
Ilmu hadits dirayah ini disebut juga ilmu Mushthalahul hadits. Kitab yang
dianggap paling ‘mapan’ menerangkan ilmu Mushthalahul hadits adalah kitab
“Al-Kilafah” karangan Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdady (meninggal tahun 463 H).
Faedahnya untuk menetapkan ke
sahihan suatu hadits dan untuk menetapkan apakah hadits tersebut dapat diterima
(maqbul) untuk diamalkan atau ditolak (mardud) untuk ditinggalkan.
V. Ilmu
Mushthalah Hadits
Dalam
memperlajari mushthalah hadits atau dalam menentukan derajad (ke-sahih-an)
suatu hadits akan selalu terkait dalam 3 hal pokok yaitu : Rawi, Sanad
dan Matan
Unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah hadits :
a. Rawi
Rawi adalah
orang yang menyampaikan hadits, contoh dalam hadits :
Warta dari
ummul Mukminin Aisyah ra, ujarnya : “Rasulullah telah bersabda : ‘barang siapa
yang mengada-adakan sesuatu yang bukan termasuk urusan (agamaku), maka ia
tertolak’.”
(Hadits
Riwayat Bukhary – Muslim)
dalam hadits
diatas Aiysah ra adalah rawi pertama dan Imam Bukhary dan Imam Muslim adalah
rawi terakhir. Antara rawi pertama dan rawi terakhir tentunya ada beberapa rawi
lagi yang biasanya tidak disebutkan untuk mempersingkat penulisan.
b. Matan
Matan adalah
materi atau isi dari hadits.
Dalam
meriwayatkan atau mentransmisikan materi (isi) hadits ada dua jalan, yang
keduanya tidak dilarang oleh Rasulullah saw, yaitu :
1.
Dengan lafad yang sama persis dari Rasulullah.
2.
Dengan maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkannya.
c. Sanad
Sanad adalah
jalan atau jalur transmisi yang menghubungkan materi hadits (matan) kepada
Rasulullah saw.
Misalnya
seperti kata Imam Bukhary :
“Telah mewartakan kepadaku Muhammad
Bin al-Mutsanna, ujarnya : ‘Abdul Wahhab ats-tsaqafy telah mengabarkan
kepadaku, ujarnya : Telah bercerita kepadaku Ayyub atas pemberitaan Abi Qilabah
dari Anas dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda : ‘Tiga perkara, yang barang
siapa mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan iman, yakni : 1. Allah dan Rasul-NYA hendaknya lebih dicintai daripada selainnya. 2.
Kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah semata-mata dan 3.
Keengganannya kembali kepada kekufuran, seperti keengganannya dicampakkan ke
neraka’.”
Dalam hal
ini materi hadits diterima oleh Imam Bukhary dari sanad pertama Muhammad Bin
al-Mutsanna, terus bersambung sampai dari sanad terakhir yaitu sahabat Anas ra.
Dengan
demikian Imam Bukhary menjadi sanad pertama bagi kita dan sebagai rawi terakhir
pada hadits tersebut diatas.
Dalam ilmu
hadits sanad ini merupakan neraca untuk menimbang sahih atau tidaknya suatu
hadits. Andaikata salah satu rawi dalam jalur transmisi (sanad) itu ada yang
fasik atau tertuduh dusta maka hadits tersebut menjadi dhaif (lemah).
Pembagian
Derajad / Jenis Hadits
Pembagian hadits ahad berdasarkan
derajad ke sahihan :
a. Sahih
b. Hasan
c. Dhoif
A. Hadits
Sahih
Hadits sahih adalah hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung-sambung, tidak ber ‘illat dan tidak janggal (syadz)
Jadi suatu hadits dapat dikatakan
sahih apabila memenuhi lima persyaratan :
1. Semua rawinya adil.
2. Semua rawinya sempurna ingatan
(dlabith)
3. Sanadnya bersambung-sambung tidak
putus
4. Tidak ber ‘iilat (cacat tersembunyi)
5. Tidak janggal (Syadz)
Keadilan
Rawi
Keadilan seorang rawi menurut Ibnu
Sam’any harus memenuhi empat syarat :
1. Selalu memelihara perbuatan taat dan
menjauhi maksiat.
2. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat
menodai agama dan sopan santun.
3. Tidak melakukan perkara-perkara
mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatan penyesalan.
4. Tidak mengikuti pendapat salah satu
sekte yang bertentangan dengan syara’.
Sebab-sebab yang menggugurkan
keadilan seorang rawi :
1. Diketahui dusta.
2. Tertuduh dusta.
3. Fasik.
4. Tidak dikenal (jahalah)
5. Penganut sekte bid’ah yang terang
terangan dan bersangatan membela paham bid’ahnya.
Ulama-ulama hadits menerima
periwayatan tokoh-tokoh syiah yang dikenal benar dan kepercayaan.
Perawi yang tidak langsung ditolak
periwayatannya :
a. Orang yang
diperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya.
b. Orang yang banyak kesilapan dan
menyalahi imam-imam yang kenamaan/kepercayaan.
c. Orang yang
banyak lupa.
d. Orang yanng rusak akal (pikun) di
masa tuanya.
e. Orang yang
tidak baik hafalannya.
f. Orang yang
menerima hadits dari sembarang orang saja, baik dari orang kepercayaan maupun
yang tidak kepercayaan.
Kalau ada pertanyaan : ‘Bagaimana
mengetahui keadilan seorang rawi ?’. Jawabannya adalah dengan mempelajari ilmu
Jarh wat Ta’dil, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang memberikan kritikan
adanya aib atau memberikan penilaian adil kepada seorang rawi. Menurut Dr.
‘Ajjaj Al-Khatib Ilmu Jarh wat Ta’dil adalah suatu ilmu yang membahas hal-ihwal
para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
Keadilan
seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari tiga kaidah berikut :
1. Semua sahabat nabi adalah adil, baik
yang terlibat dalam masa pertikain dan peperangan antar sesama kaum muslimin
ataupun yang tidak terlibat.
Sahabat nabi adalah semua orang yang
pernah bertemu Nabi Muhammad saw dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah
saw masih hidup dan dalam keadaan Islam lagi beriman.
2. Dengan kepopulerannya dikalangan
ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil, seperti Anas Bin Malik,
Sufyan Ats Tsaury, Syub’ah bin Al Hajjaj, Asy Syafi’i, Ahmad Bin Hanbal, dsb.
3. Dengan pujian dari seseorang yang
adil, yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh seorang yang adil, yang
semula rawi itu belum dikenal atau belum populer sebagai rawi yang adil.
Penetapan
tentang kecacatan (tidak adil) juga dapat ditentukan dengan kepopulerannya
sebagai orang yang mempunyai cacat sifat adilnya atau berdasarkan pentarjihan
dari seseorang yang adil.
Men-ta’dil-kan
atau men-tajrih-kan seorang rawi itu ada kalanya tidak disebutkan
sebab-sebabnya (mubham) dan adakalanya disebutkan sebab-sebabnya (mufassar).
Untuk yang tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham) diperselisihkan oleh para
ulama tentang diterima atau tidaknya, tapi jumhur ulama menetapkan bahwa
men-ta’dil-kan tanpa menyebut sebab-sebabnya diterima, karena sebab-sebab itu
banyak sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu mubadzir. Adapun
men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, karena
jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja.
Tentang
jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi
masih diperselisihkan apakah minimal dua orang atau cukup satu orang saja.
Bila terjadi
pertentangan antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama
men-ta’dil-kan dan sebagian ulama men-tajrih-kan, maka masih diperselisihkan
tapi jumhur ulama berpendapat Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun
jumlah yang men-ta’dil-kan lebih banyak daripada yang men-jarh-kan. Sebab bagi
orang yang men-jarh-kan tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui
oleh orang yang men-ta’dil-kan, dan kalau orang yang men-jahr-kan dapat
membenarkan orang yang men-ta’dil-kan tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya
saja, sedang orang yang men-jahr-kan memberitakan urusan batiniyah yang tidak
diketahui oleh orang yang men-ta’dil-kan.
Perlu
diperhatikan juga penilaian jahr oleh beberapa Muhaditsin yang terkenal
keterlaluan dan berlebihan dalam men tajrih seorang rawi, yaitu Abu Hatim, An
Nasa’iy, Yahya Bin Ma’in, Yahya Bin Khaththan dan Ibnu Hibban.
Kitab-kitab
yang membahas jahr dan ta’dil rawi-rawi hadits yang terkenal diantaranya :
- Ad-Dlu’afa’
karya Imam Bukhary.
- Lisanu’l
Mizan karya Al-hafidz Ibnu Hajar Asqolany.
Kesempurnaan ingatan Rawi
Yang dimaksud sempurna ingatan
(dlabith) adalah orang yang kuat ingatannya, artinya ingatannya lebih banyak
daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Kalau
seseorang sampai mempunyai ingatan (hafalan) yang kuat, sejak dari menerima
sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup
dikeluarkan kapan saja dan dimana saja dikehendaki orang tersebut disebut
dlabith’ush-shadri. Kalau berdasarkan buku catatan disebut dlabithu’l kitab.
Cacat-cacat yang merusakkan ke
sahihan hadits :
a. Terlalu
lengah dalam penerimaan hadits.
b. Banyak salah dalam meriwayatkan
hadits.
c. Menyalahi
orang-orang kepercayaan (syadz).
d. Banyak berperasangka.
e. Tidak baik
hafalannya.
Sanad bersambung-sambung tidak putus
Yang
dimaksud sanadnya bersambung-sambung tidak putus yaitu sanad yang selamat dari
keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan
menerima langsung dari guru yang memberikannya.
Untuk
mengetahui apakah sanad hadits itu bersambungan tidak putus atau tidak perlu
mempelajari dua macam ilmu yaitu : Ilmu Rijalil Hadits, ilmu Thabaqoh Ruwah dan
Ilmu Tawarihi Ruwah.
Ilmu Rijalil
Hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas hal-ihwal dan sejarah kehidupan
para rawi dari golongan sahabat, tabiin dan tabiit-tabiin.
Ilmu
Thabaqoh Ruwah adalah ilmu yang membahas pengelompokan sahabat nabi dalam
kelompok (thabaqoh) yang tertentu. Thabaqoh pertama : sahabat yang pertama
masuk Islam, thabaqoh kedua : sahabat yang masuk Islam sebelum musyawarah orang
musyrik Mekkah di Darun Nadwah yang berencana membunuh Nabi Muhammad saw,
thabaqoh ketiga : sahabat yang hijrah ke habsy, thabaqoh keempat : sahabat
peserta bai’at aqabah pertama, thabaqot kelima : sahabat yang menghadiri bai’at
aqobah kedua, thabaqoh keenam : Muhajirin yang menyusul Nabi di Quba sebelum
memasuki Madinah, thabaqoh ketujuh : sahabat peserta perang Badar, thabaqot kedelapan
: sahabat yang hijrah ke Madinah setelah perang Badar, tahbaqot kesembilan :
sahabat yang menghadiri bai’at baitur ridwan, thabaqot kesepuluh : sahabat yang
hijrah setelah perjanjian Hudaibiyah sebelum futuh Mekkah, thabaqot kesebelas :
sahabat yang masuk Islam setelah futuh Mekkah, thabaqot kedua belas : anak-anak
yang melihat Nabi Muhammad saw setelah Futuh Mekkah dan haji wada’.
Kitab
terbaik yang membahas sejarah, hal-ihwal dan thabaqot sahabat adalah kitab
“Al-Isabah” karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Asqolany.
Ilmu Tawarihi Ruwah adalah ilmu
untuk mengetahui para rawi hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan
hadits, mencakup keterangan tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal
wafat, guru-gurunya, kapan tanggal mendengar dari gurunya, orang-orang yang
berguru kepadanya, kota dan kampung halamannya, perantauannya, tanggal
kunjungannya ke negeri yang berbeda-beda, mendengarnya hadits dari sebagian
guru, sebelum dan sesudah ia lanjut usia dan sebagainya yang ada hubungannya
dengan masalah per haditsan.
Kitab-kitab
ilmu Tawarihi Ruwah yang tekenal diantaranya :
- At-Tarikh’ul-Khabir
karya Imam Bukhary. Berisi biografi 40.000 perawi hadits.
- Tarikh
Nishabur karya Imam Muhammad Bin Abdullah Al-Hakim An-Nishabury. Kitab ini
merupakan kitab tarikh terbesar yang banyak faedahnya.
- Tarikh
Baghdad karya Imam Al-Khatib Al-Baghdady. Kitab ini memuat biografi ulama-ulama
sebanyak 7.831 orang.
‘illat (cacat tersembunyi)
‘Illat hadits adalah cacat
tersembunyi yang dapat menodai kesahihan suatu hadits, yaitu :
a. Hadits
bersambung (hadits muttashil) yang gugur (tidak disebutkan) sahabat yang
meriwayatkannya. Hadits seperti ini disebut hadits mursal.
b. Hadits bersambung (hadits muttashil)
yang gugur salah seorang rawinya. Hadits seperti ini disebut hadits munqathi’.
c. Adanya
sisipan yang terdapat pada matan hadits.
Kejanggalan Hadits
Kejanggalan hadits terletak pada
adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul
(dapat diterima) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih
(kuat), disebabkan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam
ke-dlabith-an rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
Klasifikasi
Hadits Sahih :
Hadits sahih dibagi menjadi dua
bagian : sahih li-dzatih dan sahih li-ghairih.
Sahih
li-dzatih adalah hadits sahih yang memenuhi syarat-syarat hadits sahih diatas.
Sahih
li-ghairih adalah hadits sahih yang diantara perawinya ada yang kurang dlabith,
tetapi mempunyai sanad lain yang lebih dlabith.
B. Hadits Hasan
Hadits hasan adalah hadits yang
dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatannya (kurang
dlabith), bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta
kejanggalan pada matannya.
Klasifikasi hadits hasan : hasan
lidzatih dan hasan li-ghairih.
Hadits hasan li-dzatih adalah hadits
hasan yang memenuhi syarat hadits hasan diatas.
Hadits hasan li-ghairih adalah
hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak nyata keahliannya,
bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya
fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan
semakna dari sesuatu segi yang lain.
Hadits hasan derajadnya dibawah
hadits sahih.
Menurut Imam Turmudzi dan Ibnu
Taimiyah hadits hasan adalah hadits yang banyak jalan datangnya dan tidak ada
dalam sanadnya yang tertuduh dusta dan tidak pula janggal (syadz).
Dibawah hadits hasan ada yang lebih
rendah derajadnya yaitu hadits dhaif.
Menurut Imam Nawawi : “Hadits dhaif
yang banyak jalan dan saling menguatkan bisa naik menjadi hadits hasan”. Yaitu
hasan li-ghairih, tapi ke dhaifannya bukan karena ada rawi yang tertuduh dusta
atau fasiq. Maka dengan demikian dapat diamalkan berdasarkan kumpulannya, bukan
berdasarkan kepada satu per satunya.
C. Hadits
Dhaif
Hadits dhaif adalah hadits yang
kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits sahih atau hadits
hasan.
Berdasarkan dapat diterima atau
ditolak sebagai hujjah hadits diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
a. Hadits
Maqbul : yaitu hadits yang dapat diterima
b. Hadits Mardud : yaitu hadits yang
ditolak dan tidak dapat diterima.
Hadits sahih dan hasan adalah hadits
yang maqbul.
Yang termasuk hadits mardud
(ditolak) adalah segala macam hadits dhaif
Klasifikasi hadits dhaif :
a. Dari jurusan sanad, dibagi dua
Pertama : Cacat pada rawi,
tentang keadilan dan kedlabitannya.
Kedua : Sanadnya tidak bersambung, karena ada rawi yang
digugurkan atau tidak bertemu satu sama lain.
Pertama, cacat pada keadilan dan ke
dlabitan rawi ada 10 macam :
1. Dusta, hadits dhaif yang karena
rawinya dusta, disebut Hadits maudlu’
2. Tertuduh dusta, hadits dhaif yang
rawinya tertuduh dusta disebut hadits matruk.
3. Fasik, yaitu pelaku dosa besar, atau
melakukan dosa kecil dengan terang-terangan dan sering.
4. Banyak salah, yaitu dalam
meriwayatkan haditsnya.
5. Lengah dalam hafalan, hadits dhaif
yang karena rawinya fasik, banyak salah dan lengah disebut hadits munkar.
6. Banyak purbasangka (waham), hadits
dhaif yang karena rawinya waham disebut hadits mu’allal.
7. Menyalahi riwayat orang kepercayaan;
- Dengan
penambahan suatu sisipan, disebut hadits mudraj.
- Dengan
memutarbalikkan, disebut hadits
maqlub.
- Dengan
menukar-nukar rawi, disebut hadits
mudltharib.
- Dengan
perubahan syakal huruf, disebut hadits muharraf.
- Dengan
perubahan titik-titik kata, disebut hadits mushahhaf.
8. Tidak diketahui identitasnya
(jahalah), disebut hadits
mubham.
9. Penganut bid’ah (sekte sempalan),
hadits dhaif yang rawinya penganut bid’ah disebut hadits mardud.
10. Tidak baik hafalannya, disebut hadits syadz d n mukhtalith.
Kedua : Cacat karena
sanadnya ada yang gugur :
1. Yang digugurkan sanad pertama,
disebut hadits mu’allaq.
2. Yang digugurkan sanad terakhir
(sahabat), disebut hadits
mursal.
3. Yang digugurkan dua orang rawi atau
lebih berturut-turut, disebut hadits
mu’dlal.
4. Yang digugurkan tidak
berturut-turut, disebut hadits
munqathi.
b. Dari jurusan matan, dibagi dua :
1. Hadits mauquf, yaitu
hadits yang disandarkan hanya sampai kepada perkataan sahabat tidak sampai
kepada Nabi, misalnya “Berkata Umar …..”
2. Hadits maqthu’, yaitu hadits yang disandarkan
hanya sampai kepada perkataan tabi’in, misalnya, “Berkata Said Ibn Musayyab …..
“
Pembagian hadits berdarkan banyaknya
jalur periwayatan (sanad)
a. Hadits
Mutawatir
b. Hadsis Masyhur
c. Hadits Ahad
- hadits azis
- hadits gharib
Hadits Mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak mungkin bahwa mereka itu telah
sepakat untuk berdusta. Syarat hadits mutawatir :
1. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan
pendengaran atau penglihatan sendiri, bukan dari hasil pemikiran, rangkuman
atau dugaan.
2. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai
bilangan yang mampu mencapai ilmu’dl-dlarury (meyakinkan).
3. Ada keseimbangan antara rawi-rawi
dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Misalnya
ada hadits yang diriwayatkan oleh 10 orang sahabat kemudian diriwayatkan oleh 5
orang tabiin dan seterusnya diriwayatkan oleh 3 orang tabi’it-tabi’in maka
hadits tersebut tidak termasuk hadits mutawatir, karena jumlah rawi-rawinya
tidak seimbang antara lapisan pertama dengan lapisan kedua dan ketiga.
Kitab yang
menghimpun segala hadits mutawatir yang terkenal adalah kitab Al-Azharu’l
Mutanatsirah fi’l Akhbari Mutawatirah, karya Imam As Suyuthi (911 H).
Hadits
mutawatir memberi faedah ilmu-dlarury, yakni meyakinkan dan harus menerimanya
bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh hadits mutawatir karena membawa
kepada keyakinan yang qoth’i (pasti). Rawi-rawi hadits mutawatir tidak perlu
lagi diselidiki tentang keadilan dan kedlabithannya.
Hadits
Masyhur adalah hadits yang terdiri lapisan perawi yang pertama atau lapisan
kedua, dari orang seorang, atau beberapa orang saja. Sesudah itu barulah
tersebar luas, dinukilkan oleh segolongan orang yang tak dapat disangka bahwa
mereka sepakat untuk berdusta. Jumhur ulama hadits mensyaratkan minimal 3 orang
perawi.
Ulama-ulama
mazhab hanafi men-takhsis-kan (meng khusus kan) ayat Al-Qur’an yang umum dengan
hadits masyhur ini dan menambah hukum-hukum yang belum terdapat dalam
Al-Qur’an. Hadits ahad yang belum mencapai derajad hadits masyhur tidak dapat
digunakan untuk fungsi ini.
Imam Malik
menjadikan hadits ahad pen takh sis Al-Qur’an dengan syarat jika dikuatkan oleh
amal penduduk Madinah atau oleh Qiyas.
Imam Syafii
dan Imam Ahmad Bin Hanbal menggunakan hadits ahad untuk mentakhsis ayat
Al-Qur’an.
Hadits Ahad
adalah segala hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang atau
lebih tetapi tidak cukup terdapat sebab-sebab yang menjadikannya masyhur.
Hadits Azis
adalah hadits yang rentetan perawinya terdiri dari dua-dua orang atau pada
suatu tingkat terdiri dari dua-dua orang saja.
Hadits Garib
adalah hadits yang dalam sanadnya ada seorang rawi yang menyendiri, di lapisan
mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Berkata Imam
Ahmad Bin Hanbal : “Jangan kamu mencatat hadits hadits gharib, lantaran
hadits-hadits gharib itu mungkar-mungkar dan pada umumnya berasal dari
orang-orang lemah”.
Pembagian Hadits yang bersambung
sanadnya :
a. Hadits Musnad, yaitu tiap-tiap
hadits marfu’ yang sanadnya bersambung
b. Hadits Muttashil/Maushul, yaitu
hadits yang bersambung sanadnya, ada yang marfu’, mauquf atau maqthu’
Berhujah dengan hadits / Mengamalkan
Hadits
A. Hadits Mutawatir
Mutlak harus diterima bulat-bulat,
karena memberikan keyakinan secara ilmul-dlarury.
B. Hadits Masyhur
Mutlak dapat dipakai hujjah atau
diamalkan, dapat dijadikan pen-takhsish (meng khususkan) ayat Al-Qur’an yang
umum (‘Am)
C. Hadits Ahad
Apabila
sahih mempunyai sifat dapat diterima yang tinngi, apabila hasan mempunyai
sifat dapat diterima yang menengah / rendah, dapat diamalkan dalam
urusan-urusan amal bukan dalam urusan i’tiqad.
Imam Abu
Hanifah menolak hadits ahad untuk men takhsis dan menasakh ayat Al-Qur’an.
Imam Malik
menjadikan hadits ahad untuk men takhsish dan menasakh Al-Qur’an jika dikuatkan
oleh amalan penduduk Madinah atau oleh qiyas.
Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad Bin Hanbal menjadikan semua hadits ahad untuk men takhsish
Al-Qur’an.
D. Hadits Dha’if
Dalam hal berhujah dengan /
mengamalkan hadits dha’if, terbagi dalam 3 pendapat :
a. Melarang
secara mutlak , itu pendapat Imam Bukhary dan Abu Bakar Ibnu Araby.
b. Membolehkan, yaitu bila dha’ifnya
tidak terlalu dan khusus untuk menerangkan fadlilah amal, yang isinya mendorong
berbuat baik, mencegah perbuatan buruk, cerita-cerita dan perkara-perkara
mubah. Bukan untuk menetapkan masalah hukum-hukum syariat seperti halal-haram,
akidah. Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad Bin Hanbal, Abdurrahman Bin Mahdy,
Abdullah Ibn Mubarak, mereka berkata :
“Apabila
kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras
sanad-sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan
tentang keutamaan, pahala dan siksa, kami permudah sanadnya dan kami perlunak
rawi-rawinya”
Al Hafidz
Ibnu Hajar Asqolany membolehkan berhujah dengan hadits dha’if untuk keutamaan
amal, dengan memberikan 3 syarat :
1. Hadits Dha’if yang tidak terlalu.
Dha’if yang karena rawinya pendusta, tertuduh dusta dan banyak salah tidak
dapat dijadikan hujjah.
2. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits
tersebut masih selaras dengan dasar yang dibenarkan oleh hadits yang lebih
sahih.
3. Dalam mengamalkannya tidak meng
‘itiqadkan bahwa hadits tersebut benar benar dari Nabi, tetapi tujuannya
mengamalkan hanya semata-mata untuk ikhtiyat (hati-hati).
E. Hadits Mursal
Hadits
mursal adalah hadits yang gugur perawi pada tingkatan sahabat. Jadi perawi
tabi’in tidak menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits kepadanya.
Bila perawi
yang gugur (tidak disebutkan) sebelum sahabat , baik tabi’in atau selainnya,
bila satu orang yang gugur dinamakan hadits munqathi’, bila dua orang yang
gugur disebut hadits mu’dlal.
Berhujah
dengan hadits Mursal, terdapat perbedaan pendapat, sebagian menolak dan
menganggapnya sebagai hadits dha’if, sebagian menerima dan menganggapnya
sebagai hadits musnad, tetapi jumhur ulama hadits menerima hadits mursal tapi
dengan syarat;
Imam Abu
Hanifah menerima hadits mursal, bila yang meng irsal kan itu sahabat atau
tabi’in. Irsal yang sesudah tabi’it-tabi’in ditolak.
Imam Malik
menerima segala hadits mursal dari orang yang kepercayaan (tsiqoh).
Imam
Syafi’ii hanya menerima hadits mursal dari periwayatan Said Bin Musayyab dan
Hasan Al Basri.
Imam Ahmad
Bin Hanbal lebih mengutamakan fatwa sahabat dari pada menerima hadits mursal.
Reference :
1. Ikhtishar Mushthalahul Hadits, author : Drs.
Fatchur Rahman, published by : PT. Alma’arif Bandung.
2. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, author : Teungku
Moh. Hasbi Ash Shiddieqy, published by : PT. Pustaka Rizki Putra Semarang.
0 komentar:
Posting Komentar